"Sehingga apabila mereka
sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi
terhadapmereka tentang apa yang telah mereka kerjakan". (Q.S. Fushilat
[41]: 20)
Kulit disini di uraikan secara
rasional, sistematis, berdasarkan sumber dari Al - Qur'an. Kata juulud (kulit manusia) disebut dalam
Al - Qur'an kurang lebih sembilan kali. Disebutkan lebih banyak dari kulit
lainnya seperti hewan dan tumbuhan bukan karena kualitasnya lebih bagus,
melainkan karena dikaitkan dengan kebebasan dan tanggung-jawab. Kulit manusia
ini dapat dilihat dari dua sudut pandang duniawi dan sudut pandang ukhrawi
(akhirat).
Sudut
Pandang Duniawi
Sudut
pandang ini terkait antara lain, pertama dengan martabat. Orang yang cukup
tinggi rasa harga dirinya tidak melupakan kulitnya sebagai bagian dari harga
dirinya, martabatnya. Untuk ini, ia tidak ragu untuk mengeluarkan biaya untuk
merawat kulitnya. Kedua, dengan
penyakit, seperti kulit seseoramg menjadi bermasalah bila terjangkit penyakit
seperti panu, kudis, dan penyakit kulit lainnya. Ketiga, dengan etika. Kulit juga
dikaitkan dengan etika. Orang yang sombong yang tadinya miskin lalu menjadi
kaya disebut dengan ungkapan “Kacang Lupa Kulitnya”. Keempat,
dengan politik.
Di Afrika Selatan pernah ada
istilah Apartheid. Yakni,
sejumlah hak-hak politik yang diberikan kepada orang-orang Negro berkulit hitam. Karena
itu, jabatan-jabatan strategis hanya diberikan kepada orang yang berkulit
putih, keturunan Belanda.
Agama Islam jelas menolak politik semacam ini, Allah berfirman, “ Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. Al-Hujurat [49]: 13).
Jadi orang yang berkulit hitam
atau putih bukan menjadi persoalan di mata Allah SWT. Penentu baik dan buruk
manusia terletak pada kualitas ketakwaannya, bukan yang lain.
Sudut Pandang Ukhrawi
Pertama,
ahsanul hadits
(sebaik-baik perkataan). Al-Qur’an
adalah perkataan yang paling baik. Ketika dilafalkan lalu terdengar oleh
telinga, maka dapat memberikan efek juga pada kulit. Orang yang beriman
digambarkan bergetar kulitnya karena takut kepada Allah, dan hatinyajuga
menjadi tenang tatkala berdzikir kepada-Nya. Tetapi sebaliknya, mereka yang
tidak beriman ahsanul hadits ini; tidak punya keistimewaan sama sekali. Sama dengan
lantunan dan bunyi yang lainnya. Bahkan, ada yang sebal dan kesal mendengarnya.
Naudzubillah… Allah SWT berfirman, “Allah
telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutu
ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang
takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu
mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah niscaya tak ada
baginya seorang pemimpinpun”. (Q.S. Az-Zumar [39]: 23).
Kedua,
saksi atas perbuatan. Kulit merupakan bagian luar dari tubuh kita yang pertama
kali berurusan dengan sesuatu yang kita lakukan. Ketika pejabat mencuri uang Negara,
kulitnyalahyang pertama menyentuh uang haram itu. Kulit menjadi mitra setiap perbuatan
dan selalu ‘hadir’ menyaksikan perbuatan itu. Kulit selalu terkait dengan alat
yang tidak pernah dapat menolak. Kulit selau menjadi ‘hamba’ dari hawa nafsu
kita ketika di dunia. Tetapi di akhirat, kulit akan menjadi ‘musuh’ bagi kita
sendiri. Al-Qu’an menjelaskan, “Sehingga
apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan, dan kulit mereka
menjadi saksi terhadap meraka tentang apa yang telah mereka kerjakan”.(Q.S.
Fushilat [41]: 20).
Layaknya
seorang terdakwa dalam sebuah kejahatan, akan terkejut tentunya ketika yang
menjadi saksi atas kejahatannya justru anaknya sendiri. Dengan persaksian
kulitnya sendiri atas kedzalimannya di dunia.
Ketiga,
fungsi kulit. Baik di dunia maupun di akhirat, kulit tetap mempunyai fungsi. Hanya
saja fungsi-fungsi ini berbeda. Di dunia
kulit hanya berfungsi sebagai indera perasa. Melalui kulit kita dapat merasakan
panas dan dingin. Sementara, di akhiratkhususnya bagi orang yang banyak
melakukan dosa kulit akan berfungsi menjadi saksi atas kemaksiatan yang
dilakukannya.
Harga Kebebasan
Takdir
manusia yang sering dilupakan adalah bahwa manusia diberikan kebebasan. Kebebasan
ini, seharusnya bermitra dengan akal budi dan hari nurani. Sungguh sangat logis
bila kebebasan ini harus dipertanggungjawabkan dan ada konsekuensi yang
berlaku. Tentang kebebasan ini, Al- Quran’an menyebutkan, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat…”. (Q.S. Al Baqarah [2]:
256).
Analogi
ayat di atas dalam melakukan kebaikan. Kebaikan itu mudah dan sangat jelas
manfaatnya. Manusia diberi kebebasan untuk melakukan sesuatu, baik atau buruk. Hanya
saja, kebebasan ini ada konsekuensinya. Mereka menggunakan kebebasan ini untuk
menuju ke surga, maka kelak ia menjadi salah satu penghuninya. Sebaliknya, yang
memilih jalan menuju ke neraka sudah pasti ia akan menjadi calon penghuni
didalamnya. Kebabesan ini dapat juga dipahami dari ayat berikut, “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim
kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia Itulah yang berbuat zalim kepada
diri mereka sendiri”. (Q.S. Yunus [10]: 44).
Mengapa
manusia menjadi dzalim? Karena ia menggunakan kebebasan ini untuk berbuat
maksiat. Mereka merasa puas ketika korupsi, berzina membunuh, bahkan yang lucu
ia menipu dirinya sendiri.
Setelah
mengetahui uraian di atas, lalu apa saja yang perlu kita perhatikan? Setidaknya
ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan, Pertama : kita harus menjauhi
sumber-sumber penyakit yang dapat merusak kulit kita di samping anggota tubuh
lainnya.
Kedua
: kita harus menjauhkan keharaman, karena itu juga akan berpengaruh bagi diri
kita.
Ketiga
; kita berbenah dan bertaubat untuk menyiapkan bekal menuju perjalannan panjang
akhirat.
Keempat
; kita harus menjauhi dan menolak pemikiran atau ideology sesat yang akan
merusak akidah islamiah kita.
Dengan
kata demikian, Insya Allah di dunia dan di akhiratkita selamat tidak terjilat
dahsyatnya api neraka. Wallahu ‘a’lam bish-shawab. Sumber
: dikutib dari Buletin Dakwah Jum’at 8 feb 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar